Stop Bibit-Bibit Premanisme di Sekolah
Mengurai identitas guru BK (Bimbingan dan Konseling) sebagai polisi sekolah
Guru BK Jangan Seperti Polisi Sekolah, yang menurut Ikhsan (Kepala Dinas Pendidikan Surabaya) BK masih menjadi polisi sekolah dan kurang efektif. Kutipan dari pemberitaan
koran di Jawa Timur tertanggal 05 Nopember 2012, memiriskan hati para
guru BK. Upaya pemerintah untuk mengatur Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) seideal dan seoptimal mungkin, khusus tentang Standarisasi Kualifikasi Akademis dan Kompetensi Konselor kurang dipahami oleh banyak pihak.
Maraknya
kenakalan remaja yang belakangan ini sering terjadi; tawuran antar
pelajar, kasus video porno pelajar, pengguna narkoba dan yang menghebohkan belakangan ini arisan seks yang dilakukan pelajar di Situbondo Jawa Timur, mengoyak harga diri bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusian, keadilan dan keberadaban. Mutu dan tujuan pendidikan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa seakan-akan jauh tungku daripada bara api. Tidak menghasilkan generasi bangsa yang cerdas dan bermartabat tinggi.
Walhasil, tingkat
kekerasan yang dilakukan pelajar menjadi kurikulum tersendiri di
sekolah, kurikulum berbasis “premanisme”. Bongkar pasang Sisdiknas
dengan kurikulum tambal sulam diupayakan. Terakhir kurikulum Pendidikan Berkarakter Bangsa dan Berbudaya dicanangkan,
sebagai pelengkap dari kurikulum sebelumnya KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan), seakan jadi jawaban pemerintah atas terjadi perilaku
kenakalan pelajar tersebut. Bangsa yang dulunya memiliki nilai luhur
bijaksana seperti; teposeliro, gotong-royong, saling asah-saling asuh, mulai luntur dari kosa kata hati dan sanubari generasi bangsa.
Bibit Kenakalan Remaja
Perilaku premanisme dan
kenakalan remaja tidak datang dengan sendirinya, ada pola dan modus
tertentu. Para analis mengatakan kenakalan pelajar ini tumbuh karena
sifat kompetitif individu dan kelompok sosial pelajar; geng motor, club
olahraga, organisasi ke pemudaan dll. Namun melalui kacamata
strukturalis-fungsional, yang lebih berbahaya adalah perilaku premanisme dianggap mulai tumbuh di sekolah akibat fungsi elemen sekolah tidak dijalankan sesuai prosedur yang benar.
Munculnya anggapan ini
karena sekolah tidak mampu menyelesaikan problem perkembangan
psikologis siswa. Akar masalahnya berawal dari kasalahan treatmen dalam
menghadapi disfungsi psikologis siswa, seperti sifat bandel, bolos
sekolah, terlambat, berbohong dll, yang kemudian dilakukan tindakan
kekerasan fisik maupun mental.
Selain itu,
kesalahpahaman yang masif dikalangan pelajar, orangtua bahkan pemerhati
pendidikan, nilai premanisme sengaja terjadi dan membudaya dibangun atas
dasar guru konselor atau BK (bimbingan dan konseling) yang berdiri
sebagai “polisi sekolah”. Layaknya keberadaan polisi di tengah
masyarakat, BK melakukan tindakan khusus mencari cela titik kesalahan
yang dilakukan siswa. Tak jarang melakukan penindakan, pendisplinan dan
penghukuman terhadap siswa yang bersalah. Dengan ini hubungan BK dengan
siswa disamakan hubungan preman dengan polisi yang selalu bertindak
tegas dan keras.
Faktor lain munculnya budaya kekerasan di sekolah adalah tuntutan secepatnya menyelesaikan masalah siswa oleh pihak pemangku kepentingan sekolah.
Kepentingan politik pencitraan tiap sekolah, yakni menjaga diri jangan
sampai menjadi “sekolah bermasalah”. Akibat kepentingan ini sekolah
menjadi instan dalam melaksanakan management mutu evaluasi diri sekolah.
Skala 100% kelulusan siswa dijadikan satu-satunya mutu keberhasilan
pengajaran. Sedangkan tuntutan pembinaan akhlak mulia siswa dijadikan
tujuan pelengkap. Siswa bermasalah
dijadikan “subyek lain” dalam proses pendidikan dan cenderung
dikeluarkan. Fatalnya siswa yang dikeluarkan ditampung oleh
kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab di luar sekolah.
Kesalahan berpikir selanjutnya adalah salah menempatkan nilai “profesionalitas” guru yang membabi-buta. Paradigma guru BK yang masih dipahami secara konvensional oleh berbagai pihak, memberi bayang-bayang guru BK tetap dalam karakter kejam, berwajah bengis, dan galak agar siswa takut dan tunduk. Profesionalisme tidak dipahami sebagai tanggung jawab kolektif antar berbagai elemen sekolah.
Bisa diambil contoh,
ketika ada kesulitan, permasalahan bahkan berujung pada kenakalan
remaja, guru cenderung ambil jalan pintas dengan menyerahkannya pada BK,
tidak mengindahkan terlebih dahulu tanggung jawab profesi keguruan yang
melekat padanya. Walhasil, guru BK akan berjalan timpang, berdiri
sendiri dan selalu disudutkan sebagai biro penerima masalah dan siswa
yang datang dicap bermasalah. Siswa pun semakin buta atas jatidirinya.
Siap-siap menghadapi sidang BK. Fatalnya, sidang BK membentuk siswa
menjadi individu pemalu atau sebaliknya brutal, dan munculnya indikasi
penyelewengan psikologis dan sosial. Diakibatkan BK dijadikan sebagai
penghukum siswa bukan pengacara/advokat atas permasalahannya.
Menimbang hal di atas,
kredibilitas guru BK di sekolah pun dipertanyakan. Skala keberhasilan
menyelesaikan persoalan siswa yang wajib diemban BK relatif kurang
mencapai taraf yang membanggakan dan diharapkan. Tak hayal keberadaan BK
difungsikan sebagai pelengkap sistem pendidikan di lembaga yang ada.
Beda Polisi dengan BK
Kalau pun benar BK bersikap tegas seperti polisi yang menyidik dan mendisiplinkan, tetapi yang perlu digarisbawahi, dengan sikap dan tindakan penanganan yang berbeda pula, nilai dan karakternya. Bukan langsung main tilang sembarangan maupun tegas melakukan penahanan ala
polisi. Ketegasan BK masih dalam koridor kode etik profesi konselor.
Ketegasan yang bertujuan menemani siswa dalam pengentasan masalah yang
dialaminya. Mengiringi siswa mengambil keputusannya sendiri sesuai bobot
dan kemampuan perkembangan psikologis.
Ketegasan BK bisa
berbentuk perubahan hukuman fisik dengan hukuman Psikososial. Kerangka
teoritisnya menancapkan kefahaman bahwa konsekuensi suatu keadaan
terjadi atas sebab dan akibat yang dilakukan. Dalam proses penghukuman
ini dititikberatkan pada eksplorasi perilaku kehidupan; norma dan etika
(benar-salah, pantas-tidak pantas) sehingga memberi pembelajaran hidup
bermasyarakat. Siswa secara dewasa memahami dirinya sendiri, baik
kesadaran-kesadaran yang selama ini tidak dihiraukannya, asosial, egois,
hedonis dan lain sebagainya. Dengan ini siswa siap memasuki kehidupan
masa depannya yang cerah dan berani menghadapi kondisi sosial
kemasyarakatan.
Mekanisme hukuman di atas searah dengan Peraturan Menteri Pendidikan tahun 2008 pasal 2 yang menjelaskan bahwa, Konteks
tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan
mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan
keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif,
sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum.
Pengukuhan identitas BK
Lima fungsi Profesionalisme BK yang mencakup; pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan pengembangan, dan terakhir advokasi baik secara pribadi, sosial, belajar dan karir, harus
disosialisasikan kepada semua pihak, baik formal maupun non-formal.
Tugas BK tidak terbatas di sekolah namun lingkungan yang mendukung pada
terbentuknya siswa yang baik dan berakhlak mulia merupakan patner BK di
mana pun keberadaannya.
Bagi guru BK maupun pimpinan sekolah yang kebetulan membaca tulisan ini, saya berkeyakinan bahwa kita
tentu menghendaki sekolah dan siswa tumbuh semakin baik. Ada baiknya
mempertimbangkan beberapa gagasan sederhana ini untuk melakukan
penyempurnaan-penyempurnaan di beberapa bagian di sekolah, terutama yang
berkaitan dengan ke-BK-an.
Satu,
mengelaborasikan dengan berbagai pihak atas keberadaan BK dalam
pengentasan permasalahan siswa. Karena bagaimanapun juga siswa tumbuh
dan hidup berbudaya dengan kondisi sosial yang berbeda-beda. Siswa
berubah karakter dan kepribadiannya boleh jadi karena lingkungan di
luar sekolah. Sekolah adalah wahana yang tak lebih delapan jam seharinya
selebihnya tanggung jawab kita bersama sebagai anggota masyarakat.
Dua,
akui kode etik konselor yang memiliki prinsip kerahasiaan. Betapapun
peliknya persoalan yang dihadapi sekolah, prinsip ini menjadi pintu
terbukanya siswa meluapkan keluh-kesahnya. Kerahasiaan siswa tetap
dijaga dan data-data yang terungkap darinya bisa dibuat pijakan
prefentif tumbuhnya kriminalitas, premanisme dan kenakalan-kenakalan
lainnya.
Ketiga,
ubah gaya penghukuman fisik dengan hukuman psikososial, sehingga siswa
memiliki gambaran positif atas perbuatan yang dilakukan siswa.
Ketiga langkah di atas tentu bukan mantra sulap “bim salabim” yang sakti mengubah
keadaan dalam sekejap. Seiring dengan kebijakan Pemerintah yang
menerapkan kurikulum Berkarakter Bangsa dan Berbudaya, tentu memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada sekolah dan semua elemen bangsa untuk
menjalankan fungsinya secara optimal agar menghasilkan generasi
berpendidikan dan berjiwa seutuhnya.
Staff Pengajar MA & SMK Ihyaul Ulum Gresik